Selasa, 27 Desember 2011

Gizi di Indonesia Anfal Stadium 3


“Kami lapar keadilan, dan haus akan kebijaksanaan yang mensejahterakan kehidupan. Kami dibutakan rasa lapar yang berlebih hingga kami terkurung dibuatnya. Kami adalah orang-orang yang dipertimbangkan oleh mereka, sedangkan pertimbangan itu tidak kami rasakan hasil nya” Itu yang terdengar dari orang-orang pinggiran kita. Mereka potret nyata Indonesia. Pada harian Radar Cirebon edisi Selasa 22 November 2011 diberitakan bahwa, ada dua ibu yang dikawal mahasiswa dan aktivis dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Majalengka. Mereka mendatangi kantor DPRD kota Cirebon untuk meminta belas kasihan. Kabarnya dua ibu asal Desa Loji Kobong Kecamatan Sumberjaya ini membawa anak mereka yang menderita penyakit hydrochepalus.
 Disebuah situs (http://www.totalkesehatananda.com/hydrocephalus1.html) yang disunting pada tanggal 23 Desember 2011 disebutkan Hydrocephalus mungkin dibawa sejak lahir. Hydrocephalus congenital (sejak lahir) hadir pada kelahiran dan mungkin disebabkan oleh kejadian-kejadian atau pengaruh-pengaruh yang terjadi selama perkembangan janin, atau kelainan-kelainan genetik. Hydrocephalus yang diperoleh berkembang pada saat kelahiran atau suatu ketika setelahnya. Penyakit ini ditimbulkan akibat kurangnya asupan gizi pada saat janin masih dalam kandungan.
Ironis memang, akibat gizi yang tidak mencukupi saat kehamilan bisa berdampak besar pada bayi. Ini yang dialami dua ibu itu. Keadaan ekonomi yang memaksa mereka makan seadanya tanpa menhiraukan janin yang ada dalam kandungannya.
Menurut Dr. Judi - www.infoibu.com, diambil dari: halalguide pada tanggal 21 Desember 2012 Di dalam kandungan, pada usia 17 hari kehamilan sel-sel otak janin sudah mulai terbentuk dan berkembang. Di sinilah pentingnya peranan folat sebagai awal pembentukan tabung otak dan sum-sum tulang belakang. Selain folat, ada banyak kandungan nutrisi yang diperlukan saat perkembangan otak janin. Nutrisi ini penting saat kehamilan karena perkembangan otak bayi mengalami percepatan di saat trimester ke-3 hingga usia 30 bulan. Maka dari itu ibu hamil wajib memberikan nurtisi yang baik bagi perkembangan janinnya. Tetapi bagaimana bisa ibu-ibu itu memberikan yang terbaik bagi janinnya sedangkan perekonomian mereka tidak mendukung.  
Kenyataan ini harusnya membukakan mata mereka yang duduk disana. Indonesia mulai dibutakan oleh gedung-gedung pencakar langit, fasilitas mewah, dan jaminan asuransi yang melimpah bagi para wakil rakyatnya. Tapi rakyat mana yang mereka wakili? Mellihat dan mendengar kasus dua nenek itu saja mereka tak bisa berbuat apa-apa.
Sejatinya kesejahteraan suatu negara bisa dilihat dari status gizi masyarakatnya, tingkat kesehatannya dan tingkat perekonomiannya. Sudah sejahterakah Indonesia kita?
Almatsier mengemukakan dalam bukunya yang berjudul Prinsip Ilmu Gizi Dasar (2004) bahwa upaya mencapai status gizi masyarakat yang baik dimulai dengan penyediaan pangan yang cukup yang diperoleh dari produksi pangan dalam negeri melalui upaya pertanian bahan makanan. Jika terjadi kekurangan bahan pangan, dapat dipenuhi melalui impor, sedang jika terjadi kelebihan produksi dilakukan ekspor pangan. Ekspor dan impor dilakukan melalui upaya perdagangan.
Kenyataannya walau telah berbagai macam upaya yang dilakukan demi memenuhi kriteria tersebut, Indonesia masih saja belum bisa mewujudkan ideologinya yang tercantum pada poin-poin pancasila yang katanya ingin memberikan keadilan bagi seluruh rakyatnya.
Gizi erat kaitannya dengan kesehatan, tapi lebih erat lagi bila dihubungkan dengan pemerintahan Memang sulit membongkar bongkahan batu es seperti di laut antartika sana. Nampaknya sederhana, tapi upaya mewujudkannya itu yang sulit. Pemerintah kita butuh waktu dan dana yang tidak sedikit untuk merealisasikannya. Study banding yang kabarnya tidak main-main memakan 1,4 M untuk tiap kepala, sepertinya belum mampu mengobati rasa lapar mereka akan mimpi yang tak terwujudkan.
Bila dana tiap kepala itu dipakai untuk 10 desa, rasanya cukup. Tapi tidak menurut bapak-bapak kami yang pintar itu. Lebih baik study banding keluar negeri daripada harus dibuang dinegara sendiri. Ini empedu bagi kami generasi baru. Bagaimana kami belajar menangani masalah bila bapak-bapak kami sendiri bermasalah.
 Menurut Hartog, Staveren & Brouwer (1995) Pangan dan gizi adalah bagian dari stuktur sosial dan lingkungan , dan harus dilihat dari pembangunan nasional. Pendapat ini bertentangan dengan fasilitas baru yang akan diberikan pada wakil kami. Meskipun tak jarang suara kami diacuhkan oleh mereka. Tidak bisa dipungkiri, pemerintah sudah bersusah payah membuat suatu kebijakan dalam menengani kasus ini. Suhardjo (1989) mengemukakan bahwa kebijakan yang bertujuan untuk memperbaiki status gizi tidak hanya bergantung pada konsumsi makanan, tetapi juga bergantung pada pengadaan atau penyediaan pangan. Ini yang harusnya menjadi tolak ukur negara kita. Pemerintah terlihat lamban dalam menanggapi kasus export-impor yang merugikan beacukai Negara kita. Pertahanan kita lemah sampai pengadaan pangan pun masih bergantung dengan Negara lain.
Kedelai petani kita diharagai murah oleh Negara kita sendiri. Terjual habispun tidak. Petani kita gigit jari melihat kedelai-kedelai impor yang marak diperdagangkan. Kedelai yang menjadi sampah dinegara asalnya kita beli dengan harga mahal. Sedangkan kedelai petani kami sendiri tidak ditoleh. Apa ini yang dinamakan keadilan? Harusnya rakyat Indonesia bisa menilai sendiri bagaimanan pemerintahan Negara ini. Terlebih jika kita lihat saudara kita dibagian timur sana. Mereka tidak pantas dikatakan bergizi sebab berdasarkan acuan standar Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1995) dinyatakan bahwa IMT (Indeks Massa Tubuh) didaerah timur Indonesia ≤ 17.0. Itu artinya status gizi didaerah tersebut sangat kurang, karena idealnya IMT seseorang yang dinyatakan normal adalah (18.6 ≤ IMT ≤ 25.0).
 Untuk mencapai status gizi yang baik, diperlukan pangan yang mengandung cukup zat gizi, aman di konsumsi dan dapat memenuhi kebutuhan gizi yang dibutuhkan. Nah, bagaimana mereka bisa mencapai itu semua tanpa dukungan pemerintah? Untuk makan 1 hari saja mereka mengandalkan alam sebagai sumbernya. Bagaimana kandungan gizinya? Tidak ada yang bisa menjamin apa yang masuk kedalam tubuh mereka itu bergizi. Lantas apa yang harus kita lakukan? Berdiam diri melihat saudara kita kelaparan? Atau hanya bicara meskipun tak didengarkan? Yang pasti tidak untuk kami yang ingin menjadi generasi baru. Bukan generasi penerus, penerus kerusakan-kerusakan saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar