Senin, 04 Juni 2012

Kebiasaan Makan Protein Hewani Masyarakat dan Pengaruhnya Pada Status Gizi Seseorang


Anak 1 - 2 tahun adalah anak yang masih dalam masa pertumbuhan dan termasuk dalam kelompok rawan gizi. Ada keterkaitan antara factor sosial ekonomi, konsumsi pangan dan penyakit dengan status gizi pada kelompok rawan (Soekirman, 1999 : 85 dan Tabor, 2000 : 45). Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Selatan menunjukkan bahwa pada tahun 2003 di Sumatera Selatan terdapat lebih kurang 119.600 anak balita yang terancam busung lapar. Pada saat ini diperkirakan sebanyak 3.00 balita yang rawan busung lapar.
 Timbulnya kurang energi protein tidak hanya disebabkan makanan yang kurang, tetapi dapat juga karena penyakit. Anak yang mendapatkan makanan yang cukup baik, tetapi sering diserang diare atau demam pada akhirnya dapat menderita kurang energi protein. Sebaliknya anak yang sering makan tidak cukup baik daya tahan tubuhnya dapat melemah. Dalam keadaan demikian anak tersebut mudah diserang infeksi, kurang nafsu makan, dan akhirnya mudah terkena kurang energi protein (Soekirman, 1999 : 85).
Konsumsi makanan merupakan salah satu faktor yang secara langsung berpengaruh terhadap status gizi seseorang, keluarga dan masyarakat. Rendahnya konsumsi pangan atau kurang seimbangnya masukan zat-zat gizi dari makanan yang dikonsumsi mengakibatkan terlambatnya pertumbuhan organ dan jaringan tubuh, terjadinya penyakit dan atau lemahnya daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit serta menurunnya kemampuan kerja. Hal ini tentunya akan mempengaruhi kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang. Pada umur balita protein sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan tubuh dan perkembangan otak. Salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan akan sumber protein hewani adalah ikan. Kandungan protein ikan tidak kalah dengan kandungan protein yang berasal dari daging atau telur. Selain itu ikan adalah salah satu sumber protein hewani yang harganya lebih murah dibandingkan dengan sumber protein hewani lainnya seperti daging sapi dan ayam. Dengan demikian sangat beralasan bila kita mendukung program pemerintah gerakan makan ikan.
Tingkat konsumsi ikan sebesar 30 kg tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan negara Malaysia (lebih dari 30 kg), Thailand (40 kg), bahkan Jepang telah mencapai 110 kg per kapita per tahun (Dahuri, 2004 : 33). Untuk lebih meningkatkan konsumsi ikan di masyarakat, saat ini Departemen Kelautan dan Perikanan telah mencanangkan kampanye Gerakan Makan Ikan (GEMAR IKAN) yang telah dicanangkan oleh Presiden R.I Megawati pada tanggal 4 April 2004. Budaya mengkonsumsi ikan sejak usia balita perlu mendapat perhatian yang serius mengingat pola makan bagi keluarga dimulai dari kebiasaan makan sejak masih kecil.

Masih rendahnya tingkat konsumsi ikan ini sungguh sangat disayangkan, mengingat potensi sumber daya perikanan di Indonesia cukup besar. Diperkirakan ada 4000 jenis ikan yang hidup di perairan Indonesia. Dari jumlah tersebut lebih kurang 3000 jenis hidup di laut sedang sisanya hidup di perairan tawar atau payau (Dahuri, 2004 : 30). Salah satu sumber ikan yang berasal dari perairan umum yang ada dikota Palembang adalah Sungai Musi yang merupakan sungai terpanjang di Indonesia. Sungai tersebut selain digunakan sebagai sarana transportasi juga memiliki potensi perikanan yang cukup besar.
Berdasarkan data BPS (2003) produksi perikanan di Kota Palembang yang berasal dari perairan umum sebesar 848,7 ton sedangkan yang berasal dari kolam sebesar 1.834,4 ton. Konsumsi ikan banyak dipengaruhi oleh ikan yang tersedia. Ketersediaan ikan dipengaruhi oleh produksi. Namun demikian, walaupun produksinya sudah cukup, keadaan ini belum menjamin konsumsinya juga cukup karena hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor (Suhardjo, 1994 : 259). Rendahnya tingkat konsumsi ikan per kapita di Indonesia tampaknya disebabkan karena masih adanya anggapan di kalangan masyarakatbahwa makan ikan kurang bergengsi atau identik dengan kemiskinan. Bahkan masih ada anggapan dalam masyar akat makan ikan akan menyebabkan kecacingan atau alergi.
Ada pula anggapan bahwa mengkonsumsi ikan menyebabkan bau badan amis dan bila ibu-ibu yang sedang menyusui mengkonsumsi maka air susunya menjadi kurang sedap. Selain itu ada ibu-ibu yang enggan untuk masak ikan karena harus membersihkan isi perut, membuang sisik dan duri, sehingga menimbulkan kesan bahwa masak ikan adalah sangat merepotkan (Dahuri, 2004 : 33). Pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling essensial bagi manusia untuk mempertahankan hidup dan kehidupan (Karsin, 2004 : 6). Tingkat keragaman pangan masyarakat dapat ditunjukkan oleh pola konsumsi pangan masyarakat tersebut. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola konsumsi pangan yaitu faktor ekonomi dan harga, serta faktor sosio - budaya dan religi (Madanijah, 2004 : 70). Foster dan Anderson juga mengatakan konsumsi makanan dipengaruhi oleh kebiasaan makan dan selera (Foster dan Andersen, 1986 : 311).
Faktor budaya sangat berperan dalam proses terjadinya masalah gizi di berbagai masyarakat dan negara. Bdaya membentuk kebiasaan makan penduduk yang kadang-kadang bertentangan dengan prinsip ilmu gizi. Berbagai budaya memberi peranan dan nilai yang berbeda-beda terhadap pangan dan makanan (Brady, LJH, et.al, 1986). Sanjur (1982) menyatakan bahwa mutu gizi seseorang dapat diperoleh dengan kosumsi makanan yang beragam. Tiap-tiap jenis makanan mempunyai cita rasa, tekstur, bau, campuran zat gizi dan daya cernanya sendiri-sendiri. Hal ini yang menyebabkan tiap-tiap jenis komoditi pangan memberikan sumbangan gizi yang unik.
Dewasanya, masyarakat Indonesia sebagian besarnya merupakan masyarakat yang berpotensi tinggi seharusnya, karena mereka didukung oleh sumber daya alam yang tinggi pula yang Indonesia miliki. Tapi sebaliknya, masyarakat kita umumnya tidak mampu mengolah secara maksimal apa yang sudah diberikan alam.          Bukan alam yang bergantung pada tangan-tangan mereka untuk di olah, dikembangkan dan dilestarikan, tetapi sebaliknya sebagian besar masyarakat kitalah yang bergantung pada alam. Makanan misalnya.
Bagi mereka yang tidak mempunyai pekerjaan, yang berpendapatan rendah dan yang tak mampu mencukupi kebutuhannya, mereka terpaksa memanfaatkan yang tersedia di alam saja, tanpa memikirkan nila gizi yang terkandung didalamnya. Tak ada asupan yang memadai untuk kebutuhan tubuhnya. Hanya ala kadarnya saja. Dari sanalah lahir sebuah kebiasaan makan yang dapat mempengaruhi status gizi seseorang.
Kebiasaan makan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan. Kebiasaan makan dalam rumah tangga perlu diperhatian karena kebiasaan makan mempengaruhi pemilihan dan penggunaan pangan, dan selanjutnya mempengaruhi kualitas makanan rumah tangga (Pramudya, 1991).
Kebiasaan makan dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk pendapatan. Hasil penelitian Windyastuti (2004 : 7) menunjukkan ada hubungan antara pendapatan dengan kebiasaan makan (p = 0,015 ; r = 0,313). Hal ini berarti pendapatan keluarga yang tinggi akan memberikan kontribusi yang bersifat positif terhadap kebiasaan makan keluarga. Hal ini juga tentunya akan berpengaruh terhadap status gizi.
Dari penjelasan diatas, kebiasaan makan di masyarakat sangat mempengaruhi status gizi masyarakat itu sendiri. Sebagai contoh, disuatu keluarga yang pendapatannya disa dikatakan masih dibawah rata-rata, mereka mengkonsumsi apa yang mampu mereka beli dengan pendapatan yang mereka dapat tanpa memperdulikan nilai gizi yang terkandung dalam makanan tersebut.
Status gizi masyarakat dapat diamati dari prevalensi empat masalah gizi utama, yaitu: kurang energi protein (KEP), anemia gizi besi, gangguan akibat kurang yodium (GAKY), dan kurang vitamin A (KVA). Kelompok umur yang paling rawan menderita gizi kurang adalah 6 - 23 bulan.
Prevalensi KEP pada anak balita pada 1998 tercatat sekitar 33,4 persen. Sementara itu, prevalensi gizi buruk pada anak balita tercatat 8,1 persen pada tahun 1999.  Anemia gizi besi pada ibu hamil pada tahun 1995 tercatat 50,9 persen (SKRT, 1995). Tingginya prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil memberikan kontribusi terhadap masih tingginya AKI.
Dari data diatas, dapat disimpulakan bahwa masyarakat kita masih kurang mengkonsumsi protein, khususnya protein hewani. Ini disebabkan karena pola konsumsi masyarakat kita yang masih kurang baik. Bagi sebagian masyarakat yang pendapatannya rendah, protein hewani (telur, daging dan susu) merupakan makanan mewah yang jarang sekali mereka konsumsi, kecuali dalam even-even tertentu seperti Hari raya iedul Kurban, dan hari besar lainnya.
Tetapi berbeda halnya dengan mereka yang mengalami peningkatan pendapatan dan kesadaran pemenuhan pangan yang menyebabkab terjadinya perubahan konsumsi bahan makanan. Mereka mulai beralih mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung protein hewani, yaitu daging, telur dan susu.
Disamping pendapatan, adat-istiadat juga berpengaruh terhadap pola konsumsi masyarakat pada protein hewani. Sebagai contoh, masyarakat di pandeglang. Tingkat kesukaan masyarakat Kabupaten Pandeglang dalam mengkonsumsi daging kerbau selain sangat dipengaruhi oleh adat istiadat yang sudah menjadi kebiasaan turun temurun, juga sangat berhubungan dengan tingkat pendidikan, umur, penentu konsumsi rumah tangga, dan jumlah anggota keluarga. Sedangkan factor pengeluaran harian untuk keperluan makan harian dan total pendapatan rumah tangga tidah mempengaruhi selera masyarakat untuk tetap mengkonsumsi daging kerbau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar