Anak 1 - 2 tahun adalah anak yang masih dalam masa
pertumbuhan dan termasuk dalam kelompok rawan gizi. Ada keterkaitan antara
factor sosial ekonomi, konsumsi pangan dan penyakit dengan status gizi pada
kelompok rawan (Soekirman, 1999 : 85 dan Tabor, 2000 : 45). Data Badan Pusat
Statistik (BPS) Sumatera Selatan menunjukkan bahwa pada tahun 2003 di Sumatera
Selatan terdapat lebih kurang 119.600 anak balita yang terancam busung lapar.
Pada saat ini diperkirakan sebanyak 3.00 balita yang rawan busung lapar.
Timbulnya kurang energi protein tidak hanya
disebabkan makanan yang kurang, tetapi dapat juga karena penyakit. Anak yang
mendapatkan makanan yang cukup baik, tetapi sering diserang diare atau demam
pada akhirnya dapat menderita kurang energi protein. Sebaliknya anak yang sering
makan tidak cukup baik daya tahan tubuhnya dapat melemah. Dalam keadaan
demikian anak tersebut mudah diserang infeksi, kurang nafsu makan, dan akhirnya
mudah terkena kurang energi protein (Soekirman, 1999 : 85).
Konsumsi
makanan merupakan salah satu faktor yang secara langsung berpengaruh terhadap
status gizi seseorang, keluarga dan masyarakat. Rendahnya konsumsi pangan atau
kurang seimbangnya masukan zat-zat gizi dari makanan yang dikonsumsi
mengakibatkan terlambatnya pertumbuhan organ dan jaringan tubuh, terjadinya
penyakit dan atau lemahnya daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit serta menurunnya
kemampuan kerja. Hal ini tentunya akan mempengaruhi kualitas sumber daya
manusia di masa yang akan datang. Pada umur balita protein sangat dibutuhkan
untuk pertumbuhan tubuh dan perkembangan otak. Salah satu alternatif untuk memenuhi
kebutuhan akan sumber protein hewani adalah ikan. Kandungan protein ikan tidak kalah
dengan kandungan protein yang berasal dari daging atau telur. Selain itu ikan
adalah salah satu sumber protein hewani yang harganya lebih murah dibandingkan
dengan sumber protein hewani lainnya seperti daging sapi dan ayam. Dengan
demikian sangat beralasan bila kita mendukung program pemerintah gerakan makan
ikan.
Tingkat
konsumsi ikan sebesar 30 kg tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan
dengan negara Malaysia (lebih dari 30 kg), Thailand (40 kg), bahkan Jepang
telah mencapai 110 kg per kapita per tahun (Dahuri, 2004 : 33). Untuk lebih
meningkatkan konsumsi ikan di masyarakat, saat ini Departemen Kelautan dan
Perikanan telah mencanangkan kampanye Gerakan Makan Ikan (GEMAR IKAN) yang
telah dicanangkan oleh Presiden R.I Megawati pada tanggal 4 April 2004. Budaya
mengkonsumsi ikan sejak usia balita perlu mendapat perhatian yang serius
mengingat pola makan bagi keluarga dimulai dari kebiasaan makan sejak masih kecil.
Masih rendahnya tingkat konsumsi ikan ini sungguh
sangat disayangkan, mengingat potensi sumber daya perikanan di Indonesia cukup
besar. Diperkirakan ada 4000 jenis ikan yang hidup di perairan Indonesia. Dari
jumlah tersebut lebih kurang 3000 jenis hidup di laut sedang sisanya hidup di
perairan tawar atau payau (Dahuri, 2004 : 30). Salah satu sumber ikan yang
berasal dari perairan umum yang ada dikota Palembang adalah Sungai Musi yang
merupakan sungai terpanjang di Indonesia. Sungai tersebut selain digunakan
sebagai sarana transportasi juga memiliki potensi perikanan yang cukup besar.
Berdasarkan
data BPS (2003) produksi perikanan di Kota Palembang yang berasal dari perairan
umum sebesar 848,7 ton sedangkan yang berasal dari kolam sebesar 1.834,4 ton. Konsumsi
ikan banyak dipengaruhi oleh ikan yang tersedia. Ketersediaan ikan dipengaruhi
oleh produksi. Namun demikian, walaupun produksinya sudah cukup, keadaan ini
belum menjamin konsumsinya juga cukup karena hal ini dipengaruhi oleh berbagai
faktor (Suhardjo, 1994 : 259). Rendahnya tingkat konsumsi ikan per kapita di
Indonesia tampaknya disebabkan karena masih adanya anggapan di kalangan
masyarakatbahwa makan ikan kurang bergengsi atau identik dengan kemiskinan.
Bahkan masih ada anggapan dalam masyar akat makan ikan akan menyebabkan
kecacingan atau alergi.
Ada
pula anggapan bahwa mengkonsumsi ikan menyebabkan bau badan amis dan bila
ibu-ibu yang sedang menyusui mengkonsumsi maka air susunya menjadi kurang
sedap. Selain itu ada ibu-ibu yang enggan untuk masak ikan karena harus
membersihkan isi perut, membuang sisik dan duri, sehingga menimbulkan kesan
bahwa masak ikan adalah sangat merepotkan (Dahuri, 2004 : 33). Pangan merupakan
kebutuhan dasar yang paling essensial bagi manusia untuk mempertahankan hidup dan
kehidupan (Karsin, 2004 : 6). Tingkat keragaman pangan masyarakat dapat
ditunjukkan oleh pola konsumsi pangan masyarakat tersebut. Ada beberapa faktor
yang mempengaruhi pola konsumsi pangan yaitu faktor ekonomi dan harga, serta
faktor sosio - budaya dan religi (Madanijah, 2004 : 70). Foster dan Anderson
juga mengatakan konsumsi makanan dipengaruhi oleh kebiasaan makan dan selera
(Foster dan Andersen, 1986 : 311).
Faktor
budaya sangat berperan dalam proses terjadinya masalah gizi di berbagai
masyarakat dan negara. Bdaya membentuk kebiasaan makan penduduk yang
kadang-kadang bertentangan dengan prinsip ilmu gizi. Berbagai budaya memberi
peranan dan nilai yang berbeda-beda terhadap pangan dan makanan (Brady, LJH,
et.al, 1986). Sanjur (1982) menyatakan bahwa mutu gizi seseorang dapat
diperoleh dengan kosumsi makanan yang beragam. Tiap-tiap jenis makanan
mempunyai cita rasa, tekstur, bau, campuran zat gizi dan daya cernanya
sendiri-sendiri. Hal ini yang menyebabkan tiap-tiap jenis komoditi pangan
memberikan sumbangan gizi yang unik.
Dewasanya,
masyarakat Indonesia sebagian besarnya merupakan masyarakat yang berpotensi
tinggi seharusnya, karena mereka didukung oleh sumber daya alam yang tinggi
pula yang Indonesia miliki. Tapi sebaliknya, masyarakat kita umumnya tidak
mampu mengolah secara maksimal apa yang sudah diberikan alam. Bukan alam yang bergantung pada
tangan-tangan mereka untuk di olah, dikembangkan dan dilestarikan, tetapi
sebaliknya sebagian besar masyarakat kitalah yang bergantung pada alam. Makanan
misalnya.
Bagi mereka yang tidak mempunyai
pekerjaan, yang berpendapatan rendah dan yang tak mampu mencukupi kebutuhannya,
mereka terpaksa memanfaatkan yang tersedia di alam saja, tanpa memikirkan nila
gizi yang terkandung didalamnya. Tak ada asupan yang memadai untuk kebutuhan
tubuhnya. Hanya ala kadarnya saja. Dari sanalah lahir sebuah kebiasaan makan
yang dapat mempengaruhi status gizi seseorang.
Kebiasaan makan
merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan.
Kebiasaan makan dalam rumah tangga perlu diperhatian karena kebiasaan makan
mempengaruhi pemilihan dan penggunaan pangan, dan selanjutnya mempengaruhi
kualitas makanan rumah tangga (Pramudya, 1991).
Kebiasaan
makan dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk pendapatan. Hasil penelitian
Windyastuti (2004 : 7) menunjukkan ada hubungan antara pendapatan dengan
kebiasaan makan (p = 0,015 ; r = 0,313). Hal ini berarti pendapatan keluarga
yang tinggi akan memberikan kontribusi yang bersifat positif terhadap kebiasaan
makan keluarga. Hal ini juga tentunya akan berpengaruh terhadap status gizi.
Dari
penjelasan diatas, kebiasaan makan di masyarakat sangat mempengaruhi status
gizi masyarakat itu sendiri. Sebagai contoh, disuatu keluarga yang
pendapatannya disa dikatakan masih dibawah rata-rata, mereka mengkonsumsi apa
yang mampu mereka beli dengan pendapatan yang mereka dapat tanpa memperdulikan
nilai gizi yang terkandung dalam makanan tersebut.
Status gizi
masyarakat dapat diamati dari prevalensi empat masalah gizi utama, yaitu:
kurang energi protein (KEP), anemia gizi besi, gangguan akibat kurang yodium
(GAKY), dan kurang vitamin A (KVA). Kelompok umur yang paling rawan menderita
gizi kurang adalah 6 - 23 bulan.
Prevalensi KEP pada
anak balita pada 1998 tercatat sekitar 33,4 persen. Sementara itu, prevalensi
gizi buruk pada anak balita tercatat 8,1 persen pada tahun 1999. Anemia gizi besi pada ibu hamil pada tahun
1995 tercatat 50,9 persen (SKRT, 1995). Tingginya prevalensi anemia gizi besi
pada ibu hamil memberikan kontribusi terhadap masih tingginya AKI.
Dari data diatas,
dapat disimpulakan bahwa masyarakat kita masih kurang mengkonsumsi protein,
khususnya protein hewani. Ini disebabkan karena pola konsumsi masyarakat kita
yang masih kurang baik. Bagi sebagian masyarakat yang pendapatannya rendah,
protein hewani (telur, daging dan susu) merupakan makanan mewah yang jarang
sekali mereka konsumsi, kecuali dalam even-even tertentu seperti Hari raya
iedul Kurban, dan hari besar lainnya.
Tetapi berbeda
halnya dengan mereka yang mengalami peningkatan pendapatan dan kesadaran pemenuhan pangan yang
menyebabkab terjadinya perubahan konsumsi bahan makanan. Mereka mulai beralih
mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung protein hewani, yaitu daging, telur
dan susu.
Disamping pendapatan, adat-istiadat
juga berpengaruh terhadap pola konsumsi masyarakat pada protein hewani. Sebagai
contoh, masyarakat di pandeglang. Tingkat kesukaan masyarakat Kabupaten
Pandeglang dalam mengkonsumsi daging kerbau selain sangat dipengaruhi oleh adat
istiadat yang sudah menjadi kebiasaan turun temurun, juga sangat berhubungan
dengan tingkat pendidikan, umur, penentu konsumsi rumah tangga, dan jumlah
anggota keluarga. Sedangkan factor pengeluaran harian untuk keperluan makan
harian dan total pendapatan rumah tangga tidah mempengaruhi selera masyarakat
untuk tetap mengkonsumsi daging kerbau.