Selasa, 26 Juni 2012

PERKEMBANGAN MOTORIK DAN TIPS MAKANAN UNTUK BAYI USIA 0-6 BULAN


Makanan Bayi yg paling utama dan terutama adalah ASI karena nutrisi yg terkandung di dalam ASI sudah sangat lengkap hingga tak bisa digantikan oleh apapun termasuk susu formula tapi dalam setiap perkembangan bayi, ASI saja tidak cukup karena semakin besar usia sikecil porsi makanannya semakin bertambah.
Hal yg harus diperhatikan dalam memilih makanan bayi adalah usia si kecil, kandungan gizi serta tekstur makanan (kekentalan).
Berikut tips memilih makanan bayi sesuai usia si kecil:
1. Usia 0-6 bulan
Pada usia ini sebaiknya bayi hanya diberikan ASI atau susu formula karena saluran pencernaan bayi masih belum sempurna  tidak dianjurkan untuk diberikan makanan padat.
Jumlah ASI atau susu formula yg diberikan disesuaikan dengan perilaku bayi, biasanya pada usia ini bayi diberikan ASI atau susu formula setiap 2-3 jam sekali, bagi yg menggunakan susu formula berikan 30ml sekali minum, setiap pertambahan usia bayi 1 bulan susu formula yg diberikan ditambah 30ml sekali minumnya. Misal usia bayi 2 bulan, ukuran susu formula 60ml sekali minum.
2. Usia 6-9 bulan
Pada usia ini bayi mulai diperkenalkan dengan makanan bayi semi padat, bisa berupa bubur tim, bubur sereal, bubur buah2an, bubur sayur-sayuran dll. Untuk makanan yg dibuat sendiri dirumah perhatikan jenis bahan makanan, harus memilih jenis bahan makanan yg masih segar misalnya sayur-sayuran yg bewarna hijau dan masih segar.
Untuk yg memilih makanan instan yg ada di supermarket perhatikan tanggal kadaluarsanya, jangan membeli makanan bayi dengan kondisi kemasan yg sudah rusak karena ada kemungkinan terkontaminasi oleh bakteri. Untuk tahap perkenalan sebaiknya berikan makanan bayi semi padat ini 1x sehari dan hanya satu macam rasa, tunggu sekitar 4 hari jika ingin memilih variasi rasa atau memperkenalkan makanan yg baru pada bayi hal ini dimaksudkan agar kita bs mengetahui reaksi yg timbul pada bayi atas makanan tersebut (alergi atau tidak). Untuk tahap pemula berikan makanan bayi 2x sehari, untuk tahap lanjutan berikan makanan 3xsehari
3. Usia 10-12 bulan
Pada usia ini bayi mulai diberikan makanan agak kental, tekstur agak kasar seperti bubur orang dewasa serta bisa diberi sedikit potongan buah2an hal ini untuk merangsang bayi agar bisa mengunyah. Usia ini disebut usia lanjutan maka bisa diberikan makanan bayi 3x sehari.


Motorik kasar dan halus bayi memiliki "pola" tersendiri. Bila tak sesuai dengan "pola" tersebut berarti ada keterlambatan.
Sejak lahir, jelas dr. Rini Sekartini,Sp.A., bayi sebetulnya sudah membawa 4 aspek perkembangan. Yakni gross motor atau gerakan/motorik kasar, fine motor atau gerakan/motorik halus, aspek komunikasi-bicara, serta aspek sosial dan kemandirian. Bahkan begitu bayi lahir, aspek motoriknya sudah mulai berkembang.
Pada prinsipnya, tutur spesialis anak dari Subbagian Tumbuh Kembang FKUI-RSCM, Jakarta, motorik kasar merupakan gerakan otot-otot besar. Yakni gerakan yang dihasilkan otot-otot besar seperti otot tungkai dan lengan. Misalnya gerakan menendang, menjejak, meraih dan melempar. Sedangkan motorik halus merupakan koordinasi antara jari-jemari, telapak tangan dan kaki, serta mata.
Masing-masing tahap perkembangan motorik kasar dan halus memiliki kurun waktu/milestone perkembangan. Kurun waktunya pun berbeda antara tahap perkembangan yang satu dengan lainnya. Mengangkat kepala sejauh 45 derajat, contohnya, bisa dilakukan sampai bayi berusia 2,5 bulan. "Kalau dia belum bisa juga melakukannya, orang tua harus curiga. Sebaiknya diperiksakan ke dokter untuk mengetahui ada-tidaknya keterlambatan perkembangan."
Yang tak kalah penting, pesan Rini, lakukan stimulasi motorik kasar dan halus secara sekaligus. Misalnya, sambil melatih bayi tengkurap, taruh mainan di depannya hingga ia sekaligus belajar meraih benda di sekitarnya. Jangan lupakan pula aspek bahasa, sosial, dan kemandiriannya. "Lakukan stimulasi sesering mungkin. Toh, kita bisa menerapkannya sambil menyusui, memandikan, atau saat beraktivitas lainnya."

Cara Membuat Sosis Ikan Tenggiri


SOSIS ikan tenggiri  Bahan:
*       600 gr ikan tenggiri giling
*       100 ml minyak nabati
*       150 gr es serut
*       3 sdm tepung tapioka
*       1 sdt garam
*       1 sdt gula pasir
*       1/2 sdt merica bubuk
*       1/2 sdt ketumbar bubuk
*       1 sdm bawang putih cincang
*       1 butir putih telur
*       penyedap rasa secukupnya
*      
Cara membuat sosis sapi:
  1. Masukkan daging ikan tenggiri giling, garam dan sebagian es serut ke dalam food processor.
  2. Aduk dengan kecepatan sedang sampai tercampur rata kemudian  tambah kecepatan menjadi kecepatan tinggi
  3. Masukkan minyak nabati, aduk dengan kecepatan sedang.
  4. Masukkan semua bumbu, tepung tapioka, sisa es serut, dan putih telur. Aduk semua sampai rata.
  5. Pindahkan adonan ke dalam wadah baskom yang bersih dan kering.
  6. Siapkan casing sosis.
  7. Masukkan adonan ke dalam plastik segitiga.
  8. Semprotkan adonan sosis ke dalam casing sosis sampai semua casing terisi adonan.
  9. Ikat bagian ujung casing sosis dengan menggunakan benang, kemudian ikat per 10 cm bagian casing sosis dengan menggunakan benang.
  10. Rebus casing sosis dalam air panas (jangan sampai mendidih)  Biarkan selama 15-20 menit sampai matang
  11. Angkat casing sosis dan langsung celupkan ke dalam air dingin
  12. Tiriskan dan lepaskan ikatan benang. Tunggu sampai dingin
  13. Masukkan sosis ke dalam wadah tertutup dan simpan ke dalam freezer.
  14. Selamat mencoba..............!!!!!!!!!!!!

Senin, 04 Juni 2012

Kebiasaan Makan Protein Hewani Masyarakat dan Pengaruhnya Pada Status Gizi Seseorang


Anak 1 - 2 tahun adalah anak yang masih dalam masa pertumbuhan dan termasuk dalam kelompok rawan gizi. Ada keterkaitan antara factor sosial ekonomi, konsumsi pangan dan penyakit dengan status gizi pada kelompok rawan (Soekirman, 1999 : 85 dan Tabor, 2000 : 45). Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Selatan menunjukkan bahwa pada tahun 2003 di Sumatera Selatan terdapat lebih kurang 119.600 anak balita yang terancam busung lapar. Pada saat ini diperkirakan sebanyak 3.00 balita yang rawan busung lapar.
 Timbulnya kurang energi protein tidak hanya disebabkan makanan yang kurang, tetapi dapat juga karena penyakit. Anak yang mendapatkan makanan yang cukup baik, tetapi sering diserang diare atau demam pada akhirnya dapat menderita kurang energi protein. Sebaliknya anak yang sering makan tidak cukup baik daya tahan tubuhnya dapat melemah. Dalam keadaan demikian anak tersebut mudah diserang infeksi, kurang nafsu makan, dan akhirnya mudah terkena kurang energi protein (Soekirman, 1999 : 85).
Konsumsi makanan merupakan salah satu faktor yang secara langsung berpengaruh terhadap status gizi seseorang, keluarga dan masyarakat. Rendahnya konsumsi pangan atau kurang seimbangnya masukan zat-zat gizi dari makanan yang dikonsumsi mengakibatkan terlambatnya pertumbuhan organ dan jaringan tubuh, terjadinya penyakit dan atau lemahnya daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit serta menurunnya kemampuan kerja. Hal ini tentunya akan mempengaruhi kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang. Pada umur balita protein sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan tubuh dan perkembangan otak. Salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan akan sumber protein hewani adalah ikan. Kandungan protein ikan tidak kalah dengan kandungan protein yang berasal dari daging atau telur. Selain itu ikan adalah salah satu sumber protein hewani yang harganya lebih murah dibandingkan dengan sumber protein hewani lainnya seperti daging sapi dan ayam. Dengan demikian sangat beralasan bila kita mendukung program pemerintah gerakan makan ikan.
Tingkat konsumsi ikan sebesar 30 kg tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan negara Malaysia (lebih dari 30 kg), Thailand (40 kg), bahkan Jepang telah mencapai 110 kg per kapita per tahun (Dahuri, 2004 : 33). Untuk lebih meningkatkan konsumsi ikan di masyarakat, saat ini Departemen Kelautan dan Perikanan telah mencanangkan kampanye Gerakan Makan Ikan (GEMAR IKAN) yang telah dicanangkan oleh Presiden R.I Megawati pada tanggal 4 April 2004. Budaya mengkonsumsi ikan sejak usia balita perlu mendapat perhatian yang serius mengingat pola makan bagi keluarga dimulai dari kebiasaan makan sejak masih kecil.

Masih rendahnya tingkat konsumsi ikan ini sungguh sangat disayangkan, mengingat potensi sumber daya perikanan di Indonesia cukup besar. Diperkirakan ada 4000 jenis ikan yang hidup di perairan Indonesia. Dari jumlah tersebut lebih kurang 3000 jenis hidup di laut sedang sisanya hidup di perairan tawar atau payau (Dahuri, 2004 : 30). Salah satu sumber ikan yang berasal dari perairan umum yang ada dikota Palembang adalah Sungai Musi yang merupakan sungai terpanjang di Indonesia. Sungai tersebut selain digunakan sebagai sarana transportasi juga memiliki potensi perikanan yang cukup besar.
Berdasarkan data BPS (2003) produksi perikanan di Kota Palembang yang berasal dari perairan umum sebesar 848,7 ton sedangkan yang berasal dari kolam sebesar 1.834,4 ton. Konsumsi ikan banyak dipengaruhi oleh ikan yang tersedia. Ketersediaan ikan dipengaruhi oleh produksi. Namun demikian, walaupun produksinya sudah cukup, keadaan ini belum menjamin konsumsinya juga cukup karena hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor (Suhardjo, 1994 : 259). Rendahnya tingkat konsumsi ikan per kapita di Indonesia tampaknya disebabkan karena masih adanya anggapan di kalangan masyarakatbahwa makan ikan kurang bergengsi atau identik dengan kemiskinan. Bahkan masih ada anggapan dalam masyar akat makan ikan akan menyebabkan kecacingan atau alergi.
Ada pula anggapan bahwa mengkonsumsi ikan menyebabkan bau badan amis dan bila ibu-ibu yang sedang menyusui mengkonsumsi maka air susunya menjadi kurang sedap. Selain itu ada ibu-ibu yang enggan untuk masak ikan karena harus membersihkan isi perut, membuang sisik dan duri, sehingga menimbulkan kesan bahwa masak ikan adalah sangat merepotkan (Dahuri, 2004 : 33). Pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling essensial bagi manusia untuk mempertahankan hidup dan kehidupan (Karsin, 2004 : 6). Tingkat keragaman pangan masyarakat dapat ditunjukkan oleh pola konsumsi pangan masyarakat tersebut. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola konsumsi pangan yaitu faktor ekonomi dan harga, serta faktor sosio - budaya dan religi (Madanijah, 2004 : 70). Foster dan Anderson juga mengatakan konsumsi makanan dipengaruhi oleh kebiasaan makan dan selera (Foster dan Andersen, 1986 : 311).
Faktor budaya sangat berperan dalam proses terjadinya masalah gizi di berbagai masyarakat dan negara. Bdaya membentuk kebiasaan makan penduduk yang kadang-kadang bertentangan dengan prinsip ilmu gizi. Berbagai budaya memberi peranan dan nilai yang berbeda-beda terhadap pangan dan makanan (Brady, LJH, et.al, 1986). Sanjur (1982) menyatakan bahwa mutu gizi seseorang dapat diperoleh dengan kosumsi makanan yang beragam. Tiap-tiap jenis makanan mempunyai cita rasa, tekstur, bau, campuran zat gizi dan daya cernanya sendiri-sendiri. Hal ini yang menyebabkan tiap-tiap jenis komoditi pangan memberikan sumbangan gizi yang unik.
Dewasanya, masyarakat Indonesia sebagian besarnya merupakan masyarakat yang berpotensi tinggi seharusnya, karena mereka didukung oleh sumber daya alam yang tinggi pula yang Indonesia miliki. Tapi sebaliknya, masyarakat kita umumnya tidak mampu mengolah secara maksimal apa yang sudah diberikan alam.          Bukan alam yang bergantung pada tangan-tangan mereka untuk di olah, dikembangkan dan dilestarikan, tetapi sebaliknya sebagian besar masyarakat kitalah yang bergantung pada alam. Makanan misalnya.
Bagi mereka yang tidak mempunyai pekerjaan, yang berpendapatan rendah dan yang tak mampu mencukupi kebutuhannya, mereka terpaksa memanfaatkan yang tersedia di alam saja, tanpa memikirkan nila gizi yang terkandung didalamnya. Tak ada asupan yang memadai untuk kebutuhan tubuhnya. Hanya ala kadarnya saja. Dari sanalah lahir sebuah kebiasaan makan yang dapat mempengaruhi status gizi seseorang.
Kebiasaan makan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan. Kebiasaan makan dalam rumah tangga perlu diperhatian karena kebiasaan makan mempengaruhi pemilihan dan penggunaan pangan, dan selanjutnya mempengaruhi kualitas makanan rumah tangga (Pramudya, 1991).
Kebiasaan makan dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk pendapatan. Hasil penelitian Windyastuti (2004 : 7) menunjukkan ada hubungan antara pendapatan dengan kebiasaan makan (p = 0,015 ; r = 0,313). Hal ini berarti pendapatan keluarga yang tinggi akan memberikan kontribusi yang bersifat positif terhadap kebiasaan makan keluarga. Hal ini juga tentunya akan berpengaruh terhadap status gizi.
Dari penjelasan diatas, kebiasaan makan di masyarakat sangat mempengaruhi status gizi masyarakat itu sendiri. Sebagai contoh, disuatu keluarga yang pendapatannya disa dikatakan masih dibawah rata-rata, mereka mengkonsumsi apa yang mampu mereka beli dengan pendapatan yang mereka dapat tanpa memperdulikan nilai gizi yang terkandung dalam makanan tersebut.
Status gizi masyarakat dapat diamati dari prevalensi empat masalah gizi utama, yaitu: kurang energi protein (KEP), anemia gizi besi, gangguan akibat kurang yodium (GAKY), dan kurang vitamin A (KVA). Kelompok umur yang paling rawan menderita gizi kurang adalah 6 - 23 bulan.
Prevalensi KEP pada anak balita pada 1998 tercatat sekitar 33,4 persen. Sementara itu, prevalensi gizi buruk pada anak balita tercatat 8,1 persen pada tahun 1999.  Anemia gizi besi pada ibu hamil pada tahun 1995 tercatat 50,9 persen (SKRT, 1995). Tingginya prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil memberikan kontribusi terhadap masih tingginya AKI.
Dari data diatas, dapat disimpulakan bahwa masyarakat kita masih kurang mengkonsumsi protein, khususnya protein hewani. Ini disebabkan karena pola konsumsi masyarakat kita yang masih kurang baik. Bagi sebagian masyarakat yang pendapatannya rendah, protein hewani (telur, daging dan susu) merupakan makanan mewah yang jarang sekali mereka konsumsi, kecuali dalam even-even tertentu seperti Hari raya iedul Kurban, dan hari besar lainnya.
Tetapi berbeda halnya dengan mereka yang mengalami peningkatan pendapatan dan kesadaran pemenuhan pangan yang menyebabkab terjadinya perubahan konsumsi bahan makanan. Mereka mulai beralih mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung protein hewani, yaitu daging, telur dan susu.
Disamping pendapatan, adat-istiadat juga berpengaruh terhadap pola konsumsi masyarakat pada protein hewani. Sebagai contoh, masyarakat di pandeglang. Tingkat kesukaan masyarakat Kabupaten Pandeglang dalam mengkonsumsi daging kerbau selain sangat dipengaruhi oleh adat istiadat yang sudah menjadi kebiasaan turun temurun, juga sangat berhubungan dengan tingkat pendidikan, umur, penentu konsumsi rumah tangga, dan jumlah anggota keluarga. Sedangkan factor pengeluaran harian untuk keperluan makan harian dan total pendapatan rumah tangga tidah mempengaruhi selera masyarakat untuk tetap mengkonsumsi daging kerbau.

Kebiasaan Makan yang ada di Masyarakat dan Pengaruhnya Pada Status Gizi Seseorang


Dewasanya, masyarakat Indonesia sebagian besarnya merupakan masyarakat yang berpotensi tinggi seharusnya, karena mereka didukung oleh sumber daya alam yang tinggi pula yang Indonesia miliki. Tapi sebaliknya, masyarakat kita umumnya tidak mampu mengolah secara maksimal apa yang sudah diberikan alam.
            Bukan alam yang bergantung pada tangan-tangan mereka untuk di olah, dikembangkan dan dilestarikan, tetapi sebaliknya sebagian besar masyarakat kitalah yang bergantung pada alam. Makanan misalnya.
Bagi mereka yang tidak mempunyai pekerjaan, yang berpendapatan rendah dan yang tak mampu mencukupi kebutuhannya, mereka terpaksa memanfaatkan yang tersedia di alam saja, tanpa memikirkan nila gizi yang terkandung didalamnya. Tak ada asupan yang memadai untuk kebutuhan tubuhnya. Hanya ala kadarnya saja. Dari sanalah lahir sebuah kebiasaan makan yang dapat mempengaruhi status gizi seseorang. Maka dari itu, disusun makalah ini unutk mengetahui bagaimana kebiasaan dapat mempengaruhi status gizi seseorang ditinjau dari sudut pandang sosioantropologinya.
Kebiasaan makan diartikan sebagai cara individu atau kelompok individu memilih pangan dan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologik, psikologik, sosial dan budaya (Suhardjo, 1989 : 179) dan (Latham, 1997). Kebiasaan makan keluarga dan susunan hidangannya merupakan salah satu manifestasi kebudayaan keluarga. Perilaku anggota rumah tangga mengkonsumsi makanan mencerminkan kebiasaan makan. Kebiasaan makan dapat dinilai dari frekuensi konsumsi sayur, buah, makanan sumber protein hewani dan nabati dalam seminggu terakhir (Atmarita dan Fallah, 2004 : 149).
Suhardjo (1989 : 125), susunan hidangan merupakan hasil manifestasi proses belajar. Proses belajar ini akan menghasilkan kebiasaan makan dan hal ini akan berlangsung seumur hidup. Hal ini yang menyebabkan kebiasaan makan dan susunan hidangan sangat kuat bertahan terhadap berbagai pengaruh yang mungkin dapat mengubahnya. Kebiasaan makan keluarga dan susunan hidangan merupakan salah satu manifestasi kebudayaan keluarga yang disebut dengan gaya hidup (lifestyle).
Kebiasaan makan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan. Kebiasaan makan dalam rumah tangga perlu diperhatian karena kebiasaan makan mempengaruhi pemilihan dan penggunaan pangan, dan selanjutnya mempengaruhi kualitas makanan rumah tangga (Pramudya, 1991).
Kebiasaan makan dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk pendapatan. Hasil penelitian Windyastuti (2004 : 7) menunjukkan ada hubungan antara pendapatan dengan kebiasaan makan (p = 0,015 ; r = 0,313). Hal ini berarti pendapatan keluarga yang tinggi akan memberikan kontribusi yang bersifat positif terhadap kebiasaan makan keluarga. Hal ini juga tentunya akan berpengaruh terhadap status gizi.
Suhardjo (1989 : 144) menjelaskan bahwa kebiasaan makan dapat dinilai dengan dua cara yaitu :
(1) Pengamatan berpartisipasi sebagai metode ilmiah
Pengamatan berpartisipasi adalah metode antropologi untuk mengadakan kontak yang lama, intensif dan bervariasi dengan orang-orang lain serta pendapat-pendapat mereka. Pendekatan ini mempunyai tiga tujuan pokok yaitu :
(a)    pengembangan pengertian intensif terhadap kebudayaan lain,
(b)   pengumpulan data yang akurat, dan
(c)    pembentukan perspektif yang menyeluruh.


(2) Metode Survei
Penelitian survei sifatnya lebih formal daripada penelitian berpartisipasi. Biasanya dalam penelitian survei jawaban respon dapat mempunyai dua bentuk yaitu:
(a)    Tidak sistematis, artinya sebelumnya jawaban tidak dibagi dalam kategori yang tetap atau disebut juga dengan wawancara tidak terstruktur.
(b)   Sistematis, artinya jawaban responden sudah dibagi dalam kategori yang tetap atau disebut juga dengan wawancara terstruktur.

Dari penjelasan diatas, kebiasaan makan di masyarakat sangat mempengaruhi status gizi masyarakat itu sendiri. Sebagai contoh, disuatu keluarga yang pendapatannya disa dikatakan masih dibawah rata-rata, mereka mengkonsumsi apa yang mampu mereka beli dengan pendapatan yang mereka dapat tanpa memperdulikan nilai gizi yang terkandung dalam makanan tersebut.
Dalam sumber lain disebutkan bahwa Preferensi terhadap makanan merupakan sikap seseorang untuk suka atau tidak suka terhadap makanan (Suhardjo, 1989 : 186). Preferensi terhadap makanan dipengaruhi oleh antara lain sifat organoleptik makanan, metode persiapan makanan, penyerapanan makanan dan ketersediaan makanan, selain itu juga dipengaruhi oleh pendapatan (Sanjur, 1995) dan (Drewnowsk, 1999). Menurut Elizabeth dan Sanjur (1981) dalam Suhardjo (1989 : 186) ada tiga faktor utama yang mempengaruhi konsumsi pangan yaitu :
a)      karakteristik indvidu,
b)      karakteristik makanan/pangan, dan
c)      karakteristik lingkungan.
Ketiga faktor tersebut akan mempengaruhi prefrensi seseorang terhadap makanan yang akhirnya akan mempengaruhi konsumsi pangan.